Minggu, jam delapan pagi. Semestinya acara tabligh akbar sudah dimulai karena jadwal yang tertulis di spanduk besar bergambar seorang da’i kondang, acaranya dimulai tepat pukul tujuh pagi. Namun, sama sepertiku, sebagian besar jama'ah berpikiran bahwa tak mungkin acara dimulai tepat waktu, sehingga tak perlu tergesa-gesa ataupun takut ketinggalan acara, meskipun sudah terlambat satu jam lamanya. Dan sama juga seperti panitia yang tak kunjung memulai acara meski hari semakin siang dan hampir tak ada lagi jama'ah yang baru datang.
Pukul setengah sepuluh, rangkaian acara tabligh akbar baru dimulai. Diawali dengan pembukaan, dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Acara berikutnya adalah penampilan grup rebana dari jama'ah pengajian setempat, dan seterusnya diisi dengan sambutan dari ketua DKM dan ketua panitia. Pukul sepuluh, semua acara pembuka sudah selesai, tinggal masuk ke acara inti, yaitu tauziah yang akan disampaikan oleh sang da’i. Namun sampai ketua panitia selesai memberikan sambutan, sang da’i belum juga datang. Pembawa acara memohon kepada jama'ah agar bersabar, sebab sang da’i sedang dalam perjalanan. Sambil menunggu sang da’i datang, pihak panitia kembali meminta grup rebana untuk mengisi acara dengan senandung shalawatnya. Lebih dari lima lagu, sang da’i belum juga datang dan sang pembawa acara lagi-lagi meminta jama'ah untuk sabar karena sang da’i sedang dalam perjalanan.
Menjelang jam sebelas, pembawa acara kembali memberitahukan bahwa rombongan da’i sudah datang, namun harus singgah dulu di salah satu rumah panitia untuk beristirahat sebentar. Tiga buah lagu kembali disuguhkan untuk mengisi waktu sekaligus menenangkan jama'ah yang sudah mulai tak sabar karena lama menunggu di bawah tenda yang semakin panas.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sebelum sang da’i menyampaikan tauziahnya, kembali pembawa acara menyampaikan beberapa patah kata. Barangkali sekedar memberitahukan bahwa sang da’i sudah siap untuk memberikan tauziahnya, begitu pikir para jama'ah. Namun yang terjadi bukan itu. Dengan singkat, sang pembawa acara memberitahukan bahwa sang da’i berhalangan hadir karena sakit. Dan sebagai gantinya, sang da’i mengutus sahabatnya yang juga seorang da’i untuk memberikan tauziah siang itu. Pengumuman yang sama sekali tak disangka oleh jama'ah ini disambut dengan suara riuh, bahkan sebagian dari jama'ah akhirnya memilih bubar, tak lagi peduli dengan da’i yang baru saja naik ke atas panggung. Jama'ah kecewa, merasa dibohongi.
***
Minimal ada tiga pelajaran yang kupetik dari mengikuti pengajian siang itu. Tiga hal yang sering kita jumpai dan harus segera dibenahi, yaitu soal waktu, niat, dan kejujuran.
Waktu. Wal Ashr, demi masa/waktu. Sering kita mendengar ayat ini dalam berbagai kesempatan, namun sayangnya pemahaman kita sering hanya berhenti di artinya saja. Kita sering tidak disiplin dengan waktu, menganggap bahwa kita masih memiliki banyak waktu seolah kitalah yang mengatur dan menentukannya. Aku dan sebagian besar jama'ah yang datang terlambat, juga pihak panitia yang tak menepati susunan acara yang dibuatnya sendiri, atau bahkan mungkin sang da’i yang juga datang tidak tepat waktu adalah bukti bahwa kita masih belum bisa menghargai dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Semestinya aku dan seluruh jama'ah sudah berada di lokasi sebelum jam tujuh pagi, sesuai dengan jadwal acara yang ditentukan panitia. Atau semestinya panitia tidak menganggap bahwa jama'ah pasti akan datang terlambat, sehingga di spanduk mereka tulis acara akan dimulai pukul tujuh, meskipun mereka tahu sebenarnya acara baru akan dimulai pukul sembilan. Seandainya aku tahu acara akan dimulai sesiang itu, tak mungkin aku meninggalkan pengajian rutinku hanya untuk duduk menunggu. Ah, sesal memang tak pernah di awal.
Niat. Apapun yang kita lakukan, nilainya tak bisa dipisahkan dari niat ketika akan melakukannya. Kita mengikuti sebuah pengajian semestinya bukan semata karena melihat siapa yang akan memberikan tauziah, tapi lebih kepada apa yang disampaikan, sehingga bisa dijadikan pelajaran bagi kita. Jama'ah yang memilih bubar ketika mengetahui sang da’i yang mereka idolakan tak bisa datang adalah bukti bahwa niat mereka mendatangi pengajian ini masihlah karena figur sang da’i, bukan karena ingin mengaji. Aku memahami kekecewaan mereka, namun aku menyayangkan keputusan mereka. Sayang sekali, setelah sekian lama menunggu, tiba-tiba kita pulang dengan tak sedikit pun ilmu yang kita dapatkan. Bahkan duduknya kita di majelis ilmu tak menjadi ibadah karena niat kita yang salah.
Kejujuran. Sampaikanlah kebenaran meskipun itu terasa berat dan pahit. Begitu kita sering mendengar ungkapan, bahkan kita sendiri sering mengucapkan. Pemberitahuan secara mendadak yang disampaikan pihak panitia, menurutku adalah salah satu ketidakjujuran mereka. Aku memang tidak sepenuhnya yakin dengan pendapat beberapa jama'ah di sekitarku yang mengatakan bahwa semua ini hanya rekayasa panitia dengan ‘berpura-pura’ mengundang sang da’i untuk menarik minat jama'ah. Atau pendapat jama'ah lainnya yang mengatakan bahwa sang da’i berpura-pura sakit untuk menutupi keengganannya hadir di majelis yang hanya dihadiri orang-orang tak penting dan juga imbalan yang kecil. Astaghfirullah, aku tak berpikir sejauh itu, bagaimana pun kita (termasuk panitia) hanyalah bisa berencana, tapi Allah-lah yang menentukan akhirnya.
Namun, aku juga menyayangkan pihak panitia yang tidak berterus terang dari awal. Hampir tidak mungkin pihak panitia tidak tahu jika sang da’i berhalangan hadir (jika memang benar begitu adanya). Terlalu banyak teknologi komunikasi untuk sekedar memastikan bahwa sang da’i bisa datang atau perjalanan sudah sampai di mana. Kenyataannya yang ada adalah, setelah jama'ah menunggu lebih dari tiga jam, saat rombongan da’i datang, pembawa acara masih menyebut-nyebut nama sang da’i. Baru setelah sampai pada acara inti, panitia mengabarkan bahwa sang da’i tidak bisa hadir karena sedang sakit. Tak mudah bagi jama'ah menerima berita ini secara tiba-tiba. Aku sendiri menyayangkan, mengapa kabar ini tidak disampaikan sejak awal. Kalaupun panitia berpikiran bahwa jika ini diberitahukan, maka jama'ah akan kecewa dan memilih pulang, itu tidak bisa dipastikan. Kenyataannya, pemberitahuan mendadak justru membuat sebagian jama'ah meresa sangat kecewa dan merasa dibohongi.
***
Beberapa menit menjelang adzan dzuhur, acara tabligh akbar ini pun berakhir. Tak lebih dari satu jam sang da’i pengganti memberikan tauziahnya kepada jama'ah yang sudah menunggu lebih dari empat jam. Dan, lagi-lagi sebagian jama'ah merasa kecewa. Ah, ternyata masih banyak yang harus segera dibenahi lagi.
This article was originally published in blog: Tiga Pelajaran Dari Satu Pengajian started by nurudin
Baca Selengkapnya...
Pukul setengah sepuluh, rangkaian acara tabligh akbar baru dimulai. Diawali dengan pembukaan, dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Acara berikutnya adalah penampilan grup rebana dari jama'ah pengajian setempat, dan seterusnya diisi dengan sambutan dari ketua DKM dan ketua panitia. Pukul sepuluh, semua acara pembuka sudah selesai, tinggal masuk ke acara inti, yaitu tauziah yang akan disampaikan oleh sang da’i. Namun sampai ketua panitia selesai memberikan sambutan, sang da’i belum juga datang. Pembawa acara memohon kepada jama'ah agar bersabar, sebab sang da’i sedang dalam perjalanan. Sambil menunggu sang da’i datang, pihak panitia kembali meminta grup rebana untuk mengisi acara dengan senandung shalawatnya. Lebih dari lima lagu, sang da’i belum juga datang dan sang pembawa acara lagi-lagi meminta jama'ah untuk sabar karena sang da’i sedang dalam perjalanan.
Menjelang jam sebelas, pembawa acara kembali memberitahukan bahwa rombongan da’i sudah datang, namun harus singgah dulu di salah satu rumah panitia untuk beristirahat sebentar. Tiga buah lagu kembali disuguhkan untuk mengisi waktu sekaligus menenangkan jama'ah yang sudah mulai tak sabar karena lama menunggu di bawah tenda yang semakin panas.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sebelum sang da’i menyampaikan tauziahnya, kembali pembawa acara menyampaikan beberapa patah kata. Barangkali sekedar memberitahukan bahwa sang da’i sudah siap untuk memberikan tauziahnya, begitu pikir para jama'ah. Namun yang terjadi bukan itu. Dengan singkat, sang pembawa acara memberitahukan bahwa sang da’i berhalangan hadir karena sakit. Dan sebagai gantinya, sang da’i mengutus sahabatnya yang juga seorang da’i untuk memberikan tauziah siang itu. Pengumuman yang sama sekali tak disangka oleh jama'ah ini disambut dengan suara riuh, bahkan sebagian dari jama'ah akhirnya memilih bubar, tak lagi peduli dengan da’i yang baru saja naik ke atas panggung. Jama'ah kecewa, merasa dibohongi.
***
Minimal ada tiga pelajaran yang kupetik dari mengikuti pengajian siang itu. Tiga hal yang sering kita jumpai dan harus segera dibenahi, yaitu soal waktu, niat, dan kejujuran.
Waktu. Wal Ashr, demi masa/waktu. Sering kita mendengar ayat ini dalam berbagai kesempatan, namun sayangnya pemahaman kita sering hanya berhenti di artinya saja. Kita sering tidak disiplin dengan waktu, menganggap bahwa kita masih memiliki banyak waktu seolah kitalah yang mengatur dan menentukannya. Aku dan sebagian besar jama'ah yang datang terlambat, juga pihak panitia yang tak menepati susunan acara yang dibuatnya sendiri, atau bahkan mungkin sang da’i yang juga datang tidak tepat waktu adalah bukti bahwa kita masih belum bisa menghargai dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Semestinya aku dan seluruh jama'ah sudah berada di lokasi sebelum jam tujuh pagi, sesuai dengan jadwal acara yang ditentukan panitia. Atau semestinya panitia tidak menganggap bahwa jama'ah pasti akan datang terlambat, sehingga di spanduk mereka tulis acara akan dimulai pukul tujuh, meskipun mereka tahu sebenarnya acara baru akan dimulai pukul sembilan. Seandainya aku tahu acara akan dimulai sesiang itu, tak mungkin aku meninggalkan pengajian rutinku hanya untuk duduk menunggu. Ah, sesal memang tak pernah di awal.
Niat. Apapun yang kita lakukan, nilainya tak bisa dipisahkan dari niat ketika akan melakukannya. Kita mengikuti sebuah pengajian semestinya bukan semata karena melihat siapa yang akan memberikan tauziah, tapi lebih kepada apa yang disampaikan, sehingga bisa dijadikan pelajaran bagi kita. Jama'ah yang memilih bubar ketika mengetahui sang da’i yang mereka idolakan tak bisa datang adalah bukti bahwa niat mereka mendatangi pengajian ini masihlah karena figur sang da’i, bukan karena ingin mengaji. Aku memahami kekecewaan mereka, namun aku menyayangkan keputusan mereka. Sayang sekali, setelah sekian lama menunggu, tiba-tiba kita pulang dengan tak sedikit pun ilmu yang kita dapatkan. Bahkan duduknya kita di majelis ilmu tak menjadi ibadah karena niat kita yang salah.
Kejujuran. Sampaikanlah kebenaran meskipun itu terasa berat dan pahit. Begitu kita sering mendengar ungkapan, bahkan kita sendiri sering mengucapkan. Pemberitahuan secara mendadak yang disampaikan pihak panitia, menurutku adalah salah satu ketidakjujuran mereka. Aku memang tidak sepenuhnya yakin dengan pendapat beberapa jama'ah di sekitarku yang mengatakan bahwa semua ini hanya rekayasa panitia dengan ‘berpura-pura’ mengundang sang da’i untuk menarik minat jama'ah. Atau pendapat jama'ah lainnya yang mengatakan bahwa sang da’i berpura-pura sakit untuk menutupi keengganannya hadir di majelis yang hanya dihadiri orang-orang tak penting dan juga imbalan yang kecil. Astaghfirullah, aku tak berpikir sejauh itu, bagaimana pun kita (termasuk panitia) hanyalah bisa berencana, tapi Allah-lah yang menentukan akhirnya.
Namun, aku juga menyayangkan pihak panitia yang tidak berterus terang dari awal. Hampir tidak mungkin pihak panitia tidak tahu jika sang da’i berhalangan hadir (jika memang benar begitu adanya). Terlalu banyak teknologi komunikasi untuk sekedar memastikan bahwa sang da’i bisa datang atau perjalanan sudah sampai di mana. Kenyataannya yang ada adalah, setelah jama'ah menunggu lebih dari tiga jam, saat rombongan da’i datang, pembawa acara masih menyebut-nyebut nama sang da’i. Baru setelah sampai pada acara inti, panitia mengabarkan bahwa sang da’i tidak bisa hadir karena sedang sakit. Tak mudah bagi jama'ah menerima berita ini secara tiba-tiba. Aku sendiri menyayangkan, mengapa kabar ini tidak disampaikan sejak awal. Kalaupun panitia berpikiran bahwa jika ini diberitahukan, maka jama'ah akan kecewa dan memilih pulang, itu tidak bisa dipastikan. Kenyataannya, pemberitahuan mendadak justru membuat sebagian jama'ah meresa sangat kecewa dan merasa dibohongi.
***
Beberapa menit menjelang adzan dzuhur, acara tabligh akbar ini pun berakhir. Tak lebih dari satu jam sang da’i pengganti memberikan tauziahnya kepada jama'ah yang sudah menunggu lebih dari empat jam. Dan, lagi-lagi sebagian jama'ah merasa kecewa. Ah, ternyata masih banyak yang harus segera dibenahi lagi.
This article was originally published in blog: Tiga Pelajaran Dari Satu Pengajian started by nurudin